Drama I


Tidak ada yang lebih merisaukan dibanding menunggu, bener gak? Apalagi yang ditunggu adalah hasil yang mempengaruhi hidup lo ke depannya. Gak tanggung-tanggung nih, ini akan mempengaruhi kehidupan gue selama-lamanya karena tentang proses pernikahan yang semakin gak jelas kabarnya.

Siklus di atas yang pernah gue bilang, terjadi lagi. Bahkan ketika gue udah saling mengiyakan untuk menuju tahap selanjutnya (khitbah ke rumah doi). Sepulang dari bertemu Septi di Semarang, gue menenangkan diri sambil menata hati, lagi. Gue kadang terlalu berlebihan dalam ekspresi, dan itu bisa ditebak dengan mudah oleh mereka yang udah paham betul karakter gue. Makanya agak bahaya, kalau sampai ada yang tahu ada hal yang special yang sudah gue alami.
Bersamaan dengan proses ta’aruf gue dengan Septi, abang gue juga di Jakarta, bareng dengan beberapa anggota keluarga lain, sedang lamaran. Di bayangan gue, lamaran itu prosesinya, ada perkenalan keluarga, omong-omong rencana pernikahan, mulai tanggal, waktu, mahar dan beberapa hal lainnya. Itu kan umumnya yang ada di tipi-tipi kan?
Ternyata itu gak terjadi terhadap abang gue. Setelah sama-sama mengonfirmasi apa yang kami dapatkan di proses yang dijalani masing-masing, nyokap, yang mewakili abang dalam prosesnya bilang, “Gak ada tanggal yang di sepakati, Ndu! Semuanya diserahkan ke pihak perempuan, akan dikabari secepatnya. Palingan abis lebaran sih kata mereka.” Nyokap membalas lewat telpon di seberang sana.
Gue gedeg (semacam arghhhh) sama abang gue. Kok bisa lho, lamaran gak menghasilkan apa-apa. Cuma sekedar perkenalan gitu aja. Ah, gitu dah pokoknya. Percuma juga gue ngomong panjang lebar tentang rencana selama ini, kalau pada akhirnya gak yang menentukan toh pihak perempuan.
Sedari awal gue udah merencakan sesuatu sama nyokap, pihak lelaki, yang mana pihak keluarga gue, harusnya ngasih usulan bulan, tanggal dan sebagainya. Sampai detail dah pokoknya. Karena itu akan jadi pertimbangan pihak perempuan, jadi disana (saat lamaran abang) itu yang dibicarakan gak ngalor ngidul aja. Tapi ada kontennya dan jelas progresnya. Ah, emang dasar gue yang terlalu progress oriented! Sampai akhirnya gue murung di telpon itu dan memutuskan untuk mengakhiri sementara telpon tersebut.
Ketidak jelasan ini bertahan cukup lama, sampai pala gue pusing dibuatnya. Yang bikin pusing bukan cuma tanggal abang aja, tapi isi pesan di group nikah yang isinya gue, guru ngaji kami dan doi. “Gimana, Mas Pandu, hasil rembug keluarganya tentang tanggal nikah abangnya?” untuk jawaban dari pertanyaan ini, untuk kesekian kalinya gue hanya bisa jawab “Mohon bersabar (ini ujian),” atau “Belum ada jawaban sekarang,” atau pertanyaan, “ Kapan Mas Pandu, jadi silaturrahim ke rumah?” buat yang ini jawaban gue “Masih menunggu kejelasan info (dari MUI) abang dulu,” dan lain-lainnya.
Sungguh tidak ada niatan di hati untuk plin-plan atas rencana besar ini. Tidak ada yang bermain-main atas langkah besar ini. Manusia berencana, Allah lah yang menentukan. Pada akhirnya, emang Allah kali yak, yang minta gue untuk sujud lagi, nangis lagi, curhat lagi dan memohon lagi kepada-Nya. Ini emang jalan terbaiknya agar dalam aktivitas apapun gue tetap terus ingat sama Allah, dalam kondisi apapun, mengembalikan semua ke Allah itu wajib hukumnya. Dalam posisi apapun, tugas kita hanya berusaha dan mempersiapkan langkah dengan taktis, sisanya takdir Allah tetap berpengaruh besar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selera

first publish :D