Stuck di Tembok Besar

Waktu berlalu cepat ya? Selesai kegiatan pertemuan awardee etos nasional di Surabaya-Pasuruan, gue kembali dengan segala aktivitas yang ada. Terbiasa menyendiri membuat gue juga gak terlalu terusik dengan tanpa kehadiran seseorang.
Komunikasi dengan nyokap tetap bertahan, bahkan sejak kepergian bokap, mau gak mau, nyokap adalah satu-satunya tempat gue meminta didoakan. Doa ortu kan mustajab banget ya Sob? Tapi pada akhirnya gue tetap dihadapkan oleh tembok besar untuk rencana pernikahan yang gue hembuskan sedari semester lima (5).

Nyokap tetep kekeuh dengan pendiriannya, bahwa tidak ada istilah pelangkahan dalam keluarga. Abang gue yang pertama beda kondisi sih, karena kondisinya yang gak mendukung jadi hal itu gak masuk perhitungan. Oiya, beda umur gue dan abang yang kedua adalah 7 tahun, gue 23 tahun dan dia adalah 30 tahun. Lo semua ngerti lah ya, Jakarta itu keras, saking kerasnya mereka (Jakartanian) gak mengakui kalau mereka itu adalah bagian dari Jawa. (Coba aja tanyain kalau musim mudik, pasti ngomongnya “abis dari Jawa!”).
Abang gue dan mungkin pria lajang lainnya di Jakarta berpikir sangat rasional. Tanpa uang kita gak bisa hidup (motto hidup di Jakarta). Tapi gue gak gitu-gitu amat sih. Bagi gue, kalau ada Allah semua cukup (Tsah). Gaya gak gue?! Sorry guys, gue gak lagi gaya-gayaan. Gue bukan dari kalangan ekonomi yang cukup sih, bisa kuliah dan merasakan pengalaman ke negeri orang dengan berbekal doa, itu udah jauh lebih dari cukup bagi gue untuk mengatakan, “Allah aja dulu, baru dunia!”. Pun halnya dengan rencana nikah ini.
Masalah pertama yang gue hadapin dari dulu adalah, nyokap nuntut kesejahtraan! Haha, gue bukannya gak ikhlas untuk berbagi sama nyokap sih sampai harus disebutkan disini. Tapi ini masalah klasik yang gak semua orang ketika ditanyakan sama emak-babehnya bisa mengeles. Gue bilang ngeles ya, bukan bohong apalagi marah-marah. Terpujilah Ibu-Bapak yang selalu berbaik hati sedangkan kami para anaknya sering membangkang. Maafkan kamu Pak, Bu.
Gue jadi inget pesen salah satu Presiden BEM kampus gue (ITS Sob, S-nya bukan Surabaya yak! Lo cari tahu sendiri dah). Kata dia tuh gini, “ Salah satu parameter kamu dinilai niat untuk menikah adalah kamu mandiri finansial. Parameter konkritnya, kamu ngasih uang setiap bulan ke Ortu kamu.” Jadi kata si mas, gak perlu pusing mikirin nominal. Kita paham kali yak, bagi yang bokap-nyokapnya kerja, yang lo kasih ke mereka gak seberapa. Palingan ganggu angka di tabungan doang. Tapi bukan itu sob, ini adalah ajang pembuktian kalau lo itu udah mandiri. Bahkan ekstrimnya yak, meski lo hidup di tanah rantau dengan kondisi ekstrim bin utang menggunung, kalau udah istiqomah ngasih ke Ibu dan Bapak, maka lanjutkan. Ingat, bagi para lelaki, tugas utama lo sampai kapan pun ada di pembahagiaan Ibu. Bahkan sampai ketika lo udah nikah dan punya anak, lo tetap milik Ibu seutuhnya.
Kalau udah kerja, gue kira ini gak ada masalah lah yak. Pertanyaannya, gimana kalau lo aja buat mencukupi diri sendiri gak ada, ini udah minta nikah? Yang gila siapa? Gak ada yang gila sih menurut gue! Gue pernah ngalamin ini. Setelah tragedy “pulang kampong yang fake”, gue balik ke Surabaya dengan kondisi yakin Allah akan kasih jalan kehidupan buat gue (gak ada kerjaan sama sekali dan gue hidup pasti kan mengeluarkan biaya) modal nekat lah!. Gue terus terang sama nyokap, kalau selama 2 bulan kedepan mungkin ‘jatah’ bulanan distop dulu (elah padahal mah nominalnya mah kecil, gaya-gayaan yak jatah bulanan). Nyokap paham akan hal itu dan gue bergerilya untuk dapatkan ma’isyah (pendapatan) untuk kedatangan gue yang kesekian kalianya ini di Surabaya. Masalah pertama gak terlalu sulit, Alhamdulillah. Tapi untuk mencapai level atau lantai di atas, lo harus naikin 2, 3, 4 atau bahkan lebih tangga, yang setiap kesulitannya itu beda-beda.
Seiring rutinnya gue komunikasi dan menyelesaikan masalah pertama, timbullah masalah lainnya. Abang nikahnya masih lama sedangkan gue udah kebelet. Actually, abang udah diwanti-wanti sama nyokap buat segera nikah, bahkan gue diminta izin ke abang (nelpon berkali-kali) untuk memulai duluan. Di satu momen, nyokap ngebolehin gue proses duluan (karena tahu gue gak pacaran) di momen lain, nyokap gak ngebolehin gue nikah duluan (sebelum abang). Masalahnya adalah, kalau gue minta ke abang jawaban atas tanggal nikahnya, jawabannya “Yaudah sih yang mau nikah kan gue, kok lo yang repot. Kalau mau duluan, duluan aje!” (sambil megang hape dimiringin, You know lah yak!). Alhasil gue diam terpana dan tidak bisa mengatakan apa-apa keculai mbatin “Lo enak mikir begitu, kalau lo gak nikah-nikah, gue terancam gak bisa nikah juga.” Andaikan pesan ini bisa sampai ke hatinya dia tanpa menyakiti perasaannya (ah, drama!)
Sinetron saling menggantungkan ini pun terus berlanjut. Gue tergantung abang, abang tergantung apa yang digantung hanger di lemari pakaian. Dan lemari pakaian tergantung nyokap mau dipakai untuk apa. Jadi gue hanya bisa berspekulasi, “Yaudah lah, capek gue ngomong hal ini berulang-ulang. Akhirnya gak ada jawaban yang pasti!”
Semenjak saat itu focus gue beralih pure ke rencana studi, meski ada sebelangga keinginan di hati gue buat tetap nikah dulu. Tapi ngehancurin tembok itu berarti menghancurkan perasaan nyokap, abang dan bisa jadi saudara gue lainnya. Gue paham kok, gue ini lelaki, yang tanpa izin nyokap juga bisa aja nikah. Tapi, masa sih serendah itu visi nikah gue, sampai menghancurkan persaudaraan dan restu Ibu.
Tembok itu semakin kokoh dan berdiri tegak. Sementara gue, semakin ciut nyalinya. Ada sebagian hati gue yang berpikir untuk tetap mengusahakan sampai titik darah penghabisan. Meski gue gak tahu, kapan darah itu habis. Karena kalau habis pasti ada aja yang mau donorin. Sama kaya abang gue yang gak jelas tanggal nikahnya, maka yang bisa gue lakuin adalah isi sebagian hati lainnya. Memegang keinginan tersebut di genggaman tangan, besok lusa kalau Allah menakdirkan untuk menikah, pasti nikah kok? Bener gak?
Jawabannya ada di bab selanjutnya yak!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selera

first publish :D