Nadzor (Melihat)


4 maret 2018, hari ahad. Waktu yang tidak pernah terlupakan seumur hidup gue. Kami akan melanjutkan proses ta’aruf data ke nadzor (saling melihat). Sejatinya, proses ini disebut ta’aruf juga, yang mana kami akan saling mengonfirmasi isi proposal nikah satu sama lain. Malam sebelum keberangkatan ada pesan dari guru ngaji gue.
Beliau : Kamu naik apa ke Semarang?
Gue : Naik bus Pak, dari Terminal.
Beliau : Yaudah bareng saya saja.
Gue : *Dalam hati* Wah, Alhamdulillah. Dimudahkan banget nih prosesnya sama Allah. Gak jadi naik bus dah gue, bisa hemat uang nih.
Gue udah tunggu beliau di tempat kami bersepakat untuk janjian. Sampai akhirnya beliau datang naik motor dengan satu helm dan tas punggung di belakang badannya.
Gue : *Dalam hati* Loh, kok naiknya motor?
Beliau : Motormu mana Ndu?
Gue : Wah saya kira bareng bapak tuh maksudnya. Bersama Bapak.
*sambil ngebatin* gue kira bakal naik mobil. Ternyata bareng yang dimaksud adalah naik motor bareng ke terminal.
Beliau : Yaudah kamu cari pinjaman helm gih.
Gue : Baik Pak, saya coba.
Alhamdulillah gak lama setelah itu, adik etos gue nongol dan bawa helm 2, padahal ini di luar rencana. Semua emang udah diatur Allah yak. Kami akhirnya berangkat dengan sedikit percakapan di motor. Akhirnya kami tiba di simpul awal keberangkatan. Terminal Bungurasih.
Gue : Pak, nanti bapak nginap dimana di Semarang?
Tanya gue pede ke beliau sambil mengimbangi jalannya yang menolak tawaran calo tiket memberikan jurus mautnya.
Beliau : Loh, saya gak ke Semarang. Saya mau ke Solo ke rumah Ibu. Kita bareng sampai Solo. Nanti kamu dari Solo lanjut bus ke Semarang.
Gue pun lemes. Bukan karena lemes gak ditemenin. Lebih karena, terus ngapain gue bareng beliau sampai menunda keberangkatan hingga menjelang tengah malam. Haha. Pada akhirnya gue cuma bisa husnudzan sama rencana Allah.
Akhirnya kami naik bus bareng dengan tujuan Solo. Beliau menyarankan beberapa hal terkait proses besok. Gue harus menelan pil pahit, kalau besok gue gak akan ditemani beliau dalam prosesnya. Sendirian menghadapi si doi dan guru ngajinya.
Beliau : Kamu pakai sandal gitu?
Gue : (Meringis)
Beliau : Usahakan nanti pinjam sepatu atau yang lebih formal yak!
Gue : InsyaAllah, Pak!
Gue mengutuki diri sendiri atas kebiasaan santai yang terlalu berlebihan ini. Sampai gak lama kondektur datang, kami dimintai uang perjalanan. Gue mau sok-sokan ngeluarin duit gitu, biar gak terlalu ngarep untuk dibayarin.
Beliau : Biayanya 100 ribu, paling Ndu. Siapin aja uangnya.
Badan gue untuk ke sekian kalinya cuma bisa terkulai lemas. Gue lagi-lagi mengutuki diri sendiri. Terlalu ngarep sama manusia emang gak baik. Buktinya gue, 3x gue berharap ke manusia. 3x juga Allah kasih jawaban atas apa yang diharapkan di hati itu.
Perjalanan yang cukup melelahkan itu akhirnya sampai di pemberhentian kedua bagi gue. Subuh, sehabis sholat, kami berpisah. Beliau ke Solo, gue lanjut ke Semarang. Dengan nasihat ke Bapak-an yang beliau sampaikan, akhirnya kami berpisah. Tidak lupa sambil salam ke beliau. Meski gue gak bisa membohongi diri, gue rindu banget dengan nasihat bokap. Ya, setidaknya hari ini gue tahu, orang tua itu penting banget, meski lo udah beranjak dewasa sekalipun.
***
Pagi itu Semarang agak beda buat gue, selain baru beberapa kali gue ke Semarang, perjalanan kali ini agak mendebarkan. Bermodal jaringan etos nusantara yang gue punya, tidak begitu sulit bagi gue untuk berjalan dari satu kota ke kota di Indonesia. Alhamdulillah selalu ada tumpangan gratis, hehe.
Termasuk pagi itu, gue istirahat sebentar di asrama Etos Semarang. Bersih-bersih sekalian mastiin persiapan gue udah 100% buat ketemu dia. Syeileh, ribet amat kaya mau ketemu pejabat aja. Wah, lo bisa ngomong gitu karena gak ngerasain sob. Saran gue, segera deh rasakan. Biar tahu gimana deg-deg sernya.
Selesai bersih diri dan sarapan, gue menuju rumah guru ngajinya doi, tempat kami bersepakat untuk bertemua melakukan proses nadzor. Tapi apesnya, gue yang udah bersikukuh untuk tidak diantar teman gue, si Salman, malah semakin gue bersikukuh semakin dia bersikeras juga memaksa untuk diantar. Alhasil gue ngalah dan muter otak gimana caranya, biar Salman ini gak tahu kalau gue lagi proses sama Septi yang juga temannya Salman di Etos Semarang. Bisa berabe kalau ketahun di awal ini.
Setibanya di depan rumah guru ngajinya doi, sambil memastikan tampilan udah ketjeh, gue masuk ke rumah beliau. Setelan gue agak gak nyambung sih, baju batik dengan jaket jeans mirip Dilan. Gue punya maksud sendiri dengan memakai baju itu. Jaket jeans gue maksudkan agar dia juga tahu, gue orangnya gak terlalu kaku alias mengikuti perkembangan zaman. Baju batik, hem... karena gue gak ada pilihan lain aja sih. Haha
Pas diminta duduk sama guru ngajinya doi, yang kebetulan suaminya beliau juga ada disana untuk membantu proses kami. Si doi belum ada di tkp. Gue ngebatin, ini bocah kemana yak? Bukannya dia harusnya udah sampai. Eh gak lama, guru ngajinya manggil doi, “Sini Mbak Sep, ini lho masnya udah datang!” Oalah, doi lagi ngumpet tho? Malu apa pengen ngintip yak?
Gak lama dia masuk ke ruang tamu. Gue jadi ingat momen ketika Fahri Ayat-Ayat Cinta pertama kali bertemu dengan Aisha di proses ta’aruf. Tetiba gue mendengar alunan lagu (Desir pasir di padang tandus…..) hahaha.
Dia udah duduk di depan gue, meski posisinya rada di barat laut depan. Kami berhadap-hadapan dalam jarak. Tenang disana ada guru ngajinya doi dan suaminya, so, kami gak berkhalwat. Lagi, karena ini adalah proses nadzor, gue jadi ingat apa yang disampaikan oleh guru ngaji sesaat sebelum kami berpisah, bahwa mantapkan hati di proses ini sebelum benar-benar melangkah ke tahap selanjutnya.
Mata kami masing-masing melihat ke karpet tempat kami duduk. Apalagi doi, gue jadi bingung, di bawah tempat duduknya ada apa yak? Gak sedikitpun dia melihat ke gue, meski hal yang sama juga terjadi kepada gue, malu-malu kambing, tapi gue udah meyakinkan diri, karena memang diizinkan, maka gue akan melihat wajahnya, sekaligus mengonfirmasi ke dalam hati sendiri, wanita yang lagi duduk di depan ini kelak menemani hidup gue, maka semua harus mantap tanpa ragu!
Sejatinya, kami tidak hanya saling lihat terus pulang. Di proses itu, kami saling bertanya satu sama lain. Seperti yang gue bilang di awal. Proses bertanya gue mulai ebih dahulu tentang rencana pasca nikah. Dilanjut dengan jawaban “ya” dari dia. Atau “insyaAllah, sanggup”. Dilanjut dengan pertanyaan kedua, lagi dijawab dengan jawaban “iya” atau “Gak papa” atau “Sanggup”. Suami dari guru ngaji doi, yang kebetulan dari Banten itu langsung menimpali, “Gak ada jawaban yang lebih panjang dari itu Sept?” Dalam hati gue merasakan deg-degan yang sama kayak doi, tapi gue coba tenang dan ketawa aja deh atas gurauan yang disampaikan suami guru ngajinya.
Hampir satu jam kami bercengkrama dan mengonfirmasi. Semua list pertanyaan sudah disampaikan. Semua kegalauan akan rencana pasca pernikahan sudah mendapatkan konfirmasinya. Tidak semuanya sesuai rencana, karena lidah tetap saja kelu. Jujur, ini tidak sama dengan orasi di depan ratusan mahasiswa lainnya. Ini tidak sama dengan bernegoisasi dengan dosen saat akan kena hukuman atas kelalaian di himpunan mahasiswa. Jadi, gak ada jaminan Presiden Mahasiswa bisa santai ketika menjalani proses ini. Haha. Penasaran? Coba gih!
“Jadi kesimpulan akhirnya gimana?” kata suami dari guru ngajinya doi. Kami sudah ada di penghujung waktu nadzor, yang berarti setiap kami harus memberikan keputusan, lanjut atau tidak. Tidak ada yang pasti dalam proses ini, meski gue udah jauh-jauh dari Surabaya, bisa aja kalau dia ilfeel dan memilih untuk tidak melanjutkan proses. Artinya gue harus pulang dengan tangan hampa?! Meski gak bisa dibilang hampa banget sih, gak ada yang sia-sia, artinya memang Allah sudah menyiapkan rencana lain-Nya.
“Pandu, gimana keputusannya?” Beliau mengonfirmasi gue yang lagi asik main sama anaknya. Lumayan kehadiran anaknya, cukup membantu mengurangi kegugupan saat pertemuan. Dengan jawaban yang mantap gue memberi tanggapan atas pertanyaan tersebut. “InsyaAllah lanjut, Pak!” Tegas, lugas, ringkas.
“Oke, karena Pandu lanjut, berarti selanjutnya ada di tangan Septi.” Tandas beliau. Sedari awal gue udah menata hati, kalau-kalau dia gak melanjutkan proses ini, berarti Allah sedang menyiapkan orang lain yang lebih baik. Pede aja gue sih orangnya. Sembari berpacu dengan suara akuarium, dia akhirnya memberanikan diri untuk bicara seadanya, lagi. “InsyaAllah saya juga lanjut!”
Mendengar omongan lembutnya, hati gue berasa berbunga-bunga! Seneng gak karuan. Tapi sadar ini masih proses yang awal banget. Gak bisa dibilang gue berhasil. Tapi nyatanya, udah lumayan jauh. Alhamdulillah ya Rabb. Gak henti-hentinya gue berdzikir sambil menata wajah. Gak mau dong kelihatan gue seneng banget. Jaim dikit lah. Biar tetap cool. Meski gak tahu dah, kalau boleh joget, gue bakal joget-joget nih.
Pembicaraan kami berlanjut ke arah penentuan tanggal untuk bertemu dengan orang tua wali. Gue bertemu ortu Septi. Sebenarnya bersamaan dengan proses ta’aruf gue, di tempat lain, abang juga lagi menuju proses lamaran ke calonnya. Bedanya, abang udah mau lamaran, kalau gue baru satu tahap menuju lamaran. Jadi di proses itu gue sampaikan sekaligus, kalau gue baru bisa ke rumah doi setelah abang udah lamaran. Harapannya ada kepastian tanggal nikahnya abang, dan gue ke rumah doi udah bawa tanggal pasti untuk akad dan beberapa hal lainnya.
Akhirnya kami bersepakat bahwa tanggal akan didiskusikan ke depan. Untuk menentukan tanggal dan diskusi berlanjut, maka dibuat grup untuk diskusi. Well, udah cukup jauh juga gue melangkah. Kalau bukan karena pertolongan Allah, niscaya semua akan sangat sulit terasa. Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan, Ndu?!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selera

first publish :D