Khitbah I


30 Maret 2018, waktu yang udah disepakati untuk pertemuan gue dan keluarga doi. Ini menjadi perjalanan pertama gue dalam segala hal. Pertama naik bus jauh-jauh sendirian, pertama ke rumah calon dewekan gini. Ini gak sama dengan ta’aruf yang gak ada ortunya. Ini khitbah (lamaran) dan gue datang sendirian tanpa bantuan siapa-siapa kecuali Allah. (Tsahh).

Singkat cerita, gue sampai di alun-alun Banjarnegara setelah sebelumnya muter-muter naik bus gak jelas. Badan gue ringsek, karena semalaman di Bus, belum mandi nambah suasana hati semakin gak karuan. Bermodal mental anak asrama, akhirnya gue nyari masjid untuk membersihkan diri. Alhamdulillah, semua beres. Selesai sholat jum’at Masnya doi akan jemput gue, katanya. Aduh gue rada deg-degan asli. Gue mau langkahi kakaknya untuk menikah, eh yang jemput gue ini adalah kakaknya. Akhirnya gue Cuma bisa berdoa kepada Allah, semoga dimudahkan dalam urusan ini.
Kami bertemu sesuai janjian, dan tanpa basa basi panjang akhirnya kami menuju rumahnya. Di atas motor, gue mencoba akrab dengan ngajak ngobrol, gila, gue gak nyangka bakal segerogi ini, ini masih sama abangnya, belum lagi sama bokapnya. Ngeri-ngeri! Alhamdulillahnya, gue nemu satu obrolan yang gue gak salah prediksi. Laki-laki umumnya kan suka bola, nah qodarullahnya, si Mas Azis ini (namanya), suka banget sama bola. Obrolan kami gak jauh dari itu dah.
Sampainya di rumah Septi, gue langsung turun dari motor dan menata diri. Dengan baju batik yang sama seperti ta’aruf di Semarang, gue beranikah diri melangkah menuju pintu yang udah ditunggu oleh Bapak dan Nyokapnya. Akhirnya gue buka pintu itu dan bener, di dalam udah ada nyokap dan bokapnya.
Tangan gue agak dingin, tapi dinginnya lebih karena Banjarnegara emang suhunya dingin gak kaya Jakarta apalagi Surabaya. Gue duduk berhadap-hadap dengan Bokapnya langsung, Mas Azis duduk di sofa agak pinggir sambil main hape. Padahal gue berharap kedekatan yang udah gue jalin selama di atas motor itu bisa berguna banget untuk menghilangkan rasa gugup gue.
“Ini langsung saya mulai Pak?” omongan gue memecah sunyi suasana rumah. “Santai aja, diminum-minum dulu” kata Bapak lembut tapi penuh akan intimidasi. Gila, awal-awal gini gue deg-degan habis. Semua ketenangan yang udah gue susun di atas motor dan selama bersih-bersih di masjid hilang. Agak lebay sih, tapi namanya baru ketemu orang, orangnya ini calon mertua lo, ditambah lo gak ada temen untuk sekedar mengonfirmasi keberadaan lo. Septi yang gue harap kehadirannya di forum itu, malah ngumpet di dapur  sama nyokapnya. Gue gedeg sendiri sama doi. Harusnya kan dia bantuin gue ngejelasin apa yang udah kami sepakati. Ahh dasar Septi!
Setelah makan bebarapa kue dan minum the yang udah mau abis itu, gue beranikan diri untuk memulai pembicaraannya. Masalahnya Sob, Bapaknya doi ini orangnya agak pendiam, sehingga pertanyaan harus gue yang mulai, dan apesnya, karena pendiamnya beliau ini, pertanyaan gue dijawab seperlunya dan artinya gue harus nyari pertanyaan yang agak banyak untuk ditanayakan ke beliau. Actually, gue udah nyiapin listnya sih, tapi itu di handphone, dan gue gak mau kelihatan bego dengan lihat contekan di depan calon mertua gue.
“Kedatangan saya kemarin, dimaksudkan untuk melamar anak Bapak, Mbak Septi, Pak.” Tegas dan cukup sopan. Gue menunggu konfirmasi atas jawaban permintaan itu dari mimic beliau. “Iya Mas, saya terima kedatangannya. Tapi yang namanya melamar harus dengan orang tua. Gak bisa sendiri!” jawab beliau yang agak sedikit mengagetkan gue. Gue kira udah selesai maksud kedatangan gue kesini untuk apa, diberi tahu Septi. Ternyata, harus gue jelasin lagi dari awal.
“Kedatangan saya kemari memang untuk melamar, Pak. Tapi sebagaimana yang disampaikan Mbak Septi. Saya kesini untuk silaturrahim sekaligus melamar anak Bapak. Jika memang jawabannya positif, maka akan direncanakan kehadiran keluarga saya.” Dengan senyum tersungging di bibir gue. Gue menunggu jawaban beliau, lagi dengan kontak mata yang tidak lepas dari mata beliau dan sesekali gue lihat ke Mas Azis. Tetap sih gue ngelihat ke dapur, kok nih bocah gak keluar-keluar. Bantuin gue kek! Huh!!
Gak semudah di buku-buku ya sob, selain public speaking lo diuji, ketenangan lo menghadapi camer tuh benar-benar diuji banget. Apalagi lewat pertanyaan-pertanyaan yang beliau sampaikan. “Iya saya udah tahu dari proposal yang kamu berikan kok.” Sontak gue kaget, ini bapak kok tahu-tahuan proposal gue. Haha. Satu sisi gue gak perlu menjelaskan detail tinggal nunggu kalau-kalau beliau bertanya satu dua hal.
Alhamdulillah, Allah memudahkan banget lamaran pertama itu. “Iya mas, saya terima lamarannya sampean. Tapi segerakan untuk bertemu antar keluarga untuk membicarakan proses selanjutnya. Biar lebih enak langsung dua keluarga.” Timpal Bapak menjawab pertanyaan gue tentang konfirmasi lamaran hari itu. Senyum gue benar-benar terpancar siang itu. Jawaban gue semakin enteng, rasa percaya diri gue semakin membaik. Allah Maha Memudahkan!
“Baik, Pak. InsyaAllah kalau sesuai rencana terakhir, akadnya akan diadakan di bulan syawal. Tapi ini juga sekalian menunggu kabar pernikahan Abang.” Gak lupa gue juga menimpali, “Saya juga kemungkinan tidak bisa besar-besaran resepsinya Pak, karena focus keuangan sudah ada di Abang. Makanya mungkin akad dan resepsi seperlunya saja.” Ini pertanyaan yang sedari keberangkatan, udah gue persiapkan matang-matang. Masalahnya, kalau beliau menolak tawaran gue, gue coba usahakan seoptimal mungkin, tapi kalau udah lewat batas, sejujurnya, gue bakal angkat tangan.
Niat awal yang gue sampaikan adalah ingin menikah segera, masalah resepsi yang besar-besaran, gue gak bisa, untuk sementara itu. Jadi, kalau pihak perempuan ngotot, dan gue masih bisa usahakan, bakal gue usahakan, tapi kalau di luar kemampuan gue, rasanya gue gak mau maksa diri. Sederhananya, ini sudah gue komunikasikan baik-baik dengan Septi, dia juga tahu niat gue hanya ingin menikah segera, bukan berarti harus dengan dia. Jadi, kalau pihak perempuan maksa untuk melebihi batas kemampuan, sepertinya dicukupkan sampai di sini saja.
Karena gue gak mau resepsi sampai ngutang-ngutang banyak, akhirnya hidup setelahnya hanya untuk membayar hutangnya. Lebih baik, resepsi sederhana, tapi hidup setelahnya bebas dari beban hutang, kan?
Alhamdulillah, jawaban beliau positif. Sepositif rencana yang gue susun hari itu. Semua baik semua lancar. Allah Maha Baik, hari itu gue rasakan banget kebaikan-Nya. Gue pulang ke Surabaya dengan sebuah kesimpulan yang membuat lapang dada. Alhamdulillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selera

first publish :D